Memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh pada 24 Maret, Anggota Komisi IX DPR RI drg. Putih Sari mengajak dan menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk bersama sama memerangi COVID 19 dan mengeliminasi penyakit tuberculosis (TBC) di Indonesia. "Butuh kolaborasi multi sektor untuk mengatasi dan memerangi COVID 19 dan mengeleminasi TBC. Upaya ini bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan saja, akan tetapi juga tanggung jawab masyarakat sipil dan pemerintah di semua sektor, seperti sektor keuangan, perumahan, tenaga kerja, urusan dalam negeri, pemberdayaan desa, perencanaan pembangunan, transportasi, serta hukum dan hak asasi manusia," ujar Anggota Fraksi Gerindra DPR RI ini, seperti keterangan tertulisnya di Jakarta. Di tengah pemerintah sibuk mengatasi bencana COVID 19, Putih Sari mengingatkan, agar pemerintah tetap memastikan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan khususnya untuk pengobatan TBC, layanan konsultasi, dan upaya pencegahan TBC tetap dapat berjalan dengan baik.
"Kita memang sedang menghadapi pandemi COVID 19 yang sangat serius, akan tetapi pemerintah juga jangan sampai abai dengan penyakit–penyakit lainnya khususnya TBC yang juga menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian di Indonesia," ucapnya. Sejauh ini, menurut Anggota DPR dari Dapil Jabar VII itu, sebagian masyarakat masih kesulitan dalam mengakses kesediaan obat, sehingga alokasi anggaran untuk TBC harus ditingkatkan. Sebab, tantangan terhadap Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB) dan TB laten sangat besar di Indonesia. "Mencapai eliminasi TBC 2030 tidaklah mudah, apalagi jika muncul penyakit menular baru seperti COVID 19 yang semakin membebani sistem kesehatan kita," ungkapnya.
Putih Sari menambahkan, upaya promotif dan preventif menurutnya perlu dilakukan secara sinergis dan mendapat prioritas dan menyoroti pentingnya aspek regulasi penanggulangan TBC di Indonesia. Ia mendorong agar Perpres mengenai upaya penanggulangan TBC yang melibatkan lintas sektor bisa segera ditetapkan, sehingga menjadi landasan yang kuat dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia. "Disamping itu, intervensi seperti pelacakan kontak pasien dapat dikembangkan berdasarkan pembelajaran dari penanggulangan TBC," tuturnya.
Sekadar informasi, saat ini Indonesia sedang menghadapi beberapa pandemi yang berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, dua di antaranya adalah Pandemi COVID 19 dan TBC. Penyakit TBC telah lama ditetapkan sebagai pandemi, belum lama ini Badan Kesehatan Dunia atau WHO juga telah menetapkan bahwa Corona Virus Diseases atau COVID 19 sebagai pandemi. Status ini ditetapkan menyusul dampak penyakit yang tidak hanya pada kesehatan, tapi juga ke berbagai sektor. Jumlah pasien yang terkonfirmasi positif COVID 19 di Indonesia terus bertambah.
Disisi lain, TBC juga masih menjadi penyakit yang mematikan di Indonesia dan juga di dunia. Tuberkulosis pertama ditemukan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch dan lebih dari 130 tahun setelahnya penyebaran bakteri TBC masih ada di setiap negara, bahkan semakin resisten terhadap antibiotik yang tersedia. Indonesia masih menghadapi pandemi TBC dan upaya upaya yang telah dilakukan untuk mengatasinya tentu terancam dengan munculnya pandemi COVID 19. Pada 2018, sebanyak 10 juta orang di dunia jatuh sakit akibat TBC dan 845 ribu orang di antaranya berada di Indonesia. Situasi ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga sebagai negara dengan insiden TBC tertinggi setelah India dan China (WHO, 2019).
Laporan Tuberkulosis Global WHO 2019 memperkirakan setiap hari lebih dari 2.300 orang jatuh sakit akibat TBC. Penyakit menular yang dapat dicegah dan diobati ini juga telah merenggut lebih dari 200 jiwa setiap harinya.